18.11.10

Krisis Finansial dan The Dodd-Frank Bill

Tahun 2007-2009, Amerika mengalami krisis finansial yang akhirnya merembet ke seluruh dunia dan menciptakan sebuah krisis masif finansial global. Pasar keuangan (stock market) di seluruh dunia jatuh, institusi-institusi besar finansial kolaps, berbagai bank mayor di seluruh dunia bangkrut, jutaan manusia kehilangagan pekerjaan dan rumah. Pemerintah di banyak negara, bahkan di negara maju, panik. Di Amerika saja, jumlah  yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 2009, untuk mem-bail-out perusahaan-perusahaan finansial besar yang menjadi tulang punggung perekonomian negara, sebanyak 9,7 triliun US Dollar. Krisis finansial tahun 2007-2009 merupaka krisis finansial terbesar sepanjang sejarah, bahkan melampaui Great Depression tahun 1930.

Mengapa krisis finansial tersebut terjadi?

Ada dua sebab.  Dalam tataran praksis, krisis finansial global 2007-2009 bersumber dari membekunya pasar kredit Amerika . Kegagalan ini melibatkan praktik-praktik yang relatif baru (dan agak kotor) seperti Sub-Prime Mortgages, Credit Default Swap, Collateralized Debt Obligation dan Leverage. Sedangkan dalam tataran konseptual, krisis ini berakar pada teori Efficient Markets  yang terbukti salah dalam pasar kredit Amerika. Ternyata kepercayaan berlebihan masyarakat Amerika (terutama para ekonom) terhadap Efficient Markets Theory lebih merupakan keyakinan daripada fakta.

Untuk mengatasi krisis ini presiden Amerika Barrack Obama mengeluarkan suatu kebijakan finansial baru yang dikenal sebagai The Dodd-Frank Bill.

Tepatkah kebijakan The Dodd-Frank Bill dari Presiden Obama ini?


World-wide Financial Fiasco: The Crisis of Credit

26 Februari 20007, Alan Greenspan, kepala United State Federal Reserve (bank sentral Amerika), memberi komentar dalam media MSNBC. Isinya meramalkan surplus Amerika (pernyataan ini mungkin lebih ditujukan untuk menjaga ekonomi tetap kuat setelah dot-com boom bust dan serangan 11 September) dan resiko resesi sebagai akibatnya. Entah karena pernyataannya ini atau karena hal lain, esok paginya suku bunga turun hingga menjadi 1%.

Alan Greenspan benar, Amerika mengalami surplus general dari Jepang, China dan Timur Tengah. Namun surplus ini juga berakibat pada 2 hal lain. Pertama, para investor kaya yang biasanya melakukan investasi dengan cara menaruh uangnya sebagai modal Federal Reserve atau membeli Treasury Bill (mirip dengan SBI di Indonesia) tidak mau lagi menginvestasikan uang mereka dengan cara tersebut. Karena menurut mereka 1% merupakan pengembalian investasi (returnal investment) yang sangat rendah. Kedua, bank-bank di Wall Street bisa meminjam uang dengan bunga hanya 1%. Dengan kata lain, ini berarti cheap credit beredar bebas di pasaran. Bank-bank dapat meminjam uang sangat banyak dengan mudah dan dengan bunga yang sangat rendah.

Cheap Credit tadi menyebabkan praktik-praktik Leverage menjadi sangat mudah dan dengan cepat menjadi populer. Leverage adalah meminjam uang untuk melipatgandakan hasil suatu transaksi jual beli. Bagaimana cara kerjanya? Dalam keadaan normal, seseorang yang mempunyai Rp. 1.000.000,00 akan membeli sepatu seharga Rp. 1.000.000,00. Lalu ia akan menjual kembali sepatu tersebut dengan harga Rp. 1.100.000,00. Dengan begitu ia untung Rp. 100.000,00. Namun jika menggunakan pola pikir Leverage, seseorang yang mempunyai Rp. 1.000.000,00 akan meminjam Rp. 99.000.000,00 dari bank. Dengan Rp.100.000.000 tadi ia membeli seratus sepatu dan menjualnya kembali dengan harga seluruhnya Rp.110.000.000,00. Kemudian ia membayar kembali hutangnya kepada bank sebesar Rp.99.000.000,00 dengan bunga kurang lebih sebesar Rp.1.000.000,00. Dikurangi modal awal Rp.1.000.000,00,  ia mendapat profit sebesar Rp.9.000.000,00. Profit seratus ribu rupiah yang seharusnya ia dapat, dilipatgandakan menjadi sembilan juta rupiah menggunakan Leverage. Nah sekarang bayangkan jika praktik Leverage ini digunakan oleh bank-bank di Wall Street dengan jumlah uang dan pinjaman yang sangat besar dalam transaksi yang sangat banyak. Dalam waktu singkat, Wall Street menjadi luar biasa kaya.

Kemajuan Wall Street menarik perhatian para investor, yang sedang mencari cara lain untuk berinvestasi. Minat Investor membuat para banker di Wall Street mulai meluaskan jaringan transaksi. Pada dasarnya, mereka ingin menyambungkan antara Investor dan Keluarga Amerika melalui mortgages. Mortgages adalah kontrak (dalam bentuk surat) hutang kepada bank dengan tujuan pembelian rumah (semacam KPR di Indonesia).

Begini mekanismenya, saat keluarga-keluarga Amerika ingin membeli rumah, mereka biasanya mengumpulkan down payment (DP) dan menyewa seorang mortgages broker. Mortgages broker menjadi perantara antara keluarga dan bank pemberi pinjaman. Bank tersebut memberi keluarga tadi uang pinjaman dengan jaminan surat-hutang-rumah (mortgages). Rumah terbeli, dan mortgages broker  mendapat komisi. Keluarga tersebut kemudian membayar cicilan hutang tadi kepada bank pemberi pinjaman setiap bulan.

Disinilah para bank di Wall Street meluaskan jaringan. Investment banker (bank-bank di wall street) menghubungi bank pemberi pinjaman untuk membeli surat hutang tadi. Tapi bukan itu saja, dengan uang yang ia punya, investment banker meminjam uang dalam jumlah banyak dan berkali lipat dari Federal Reserve. Uang tersebut ia pakai untuk membeli ribuan (bahkan ratusan) surat hutang serupa lainnya. Jadi saat para keluarga pemilik surat hutang tersebut membayar cicilan setiap bulan, uangnya masuk ke kantong investmen banker.

Investmen banker kemudian menyewa para manajer investasi dan pialang saham untuk menyaring dan mengubah surat-surat hutang tadi menjadi Collateralized Debt Obligation (Obligasi Hutang Terjamin) atau CDO. Pada dasarnya manajer investasi memenej resiko kredit. Mereka menyaring surat-surat hutang tersebut menjadi 3 layer. Aman, biasa dan beresiko. Saat uang dari penyetor kredit masuk, uang tersebut memenuhi layer aman terlebih dahulu, baru kemudian layer-layer di bawahnya secara bertahap. Ini membuat investasi pada layer terbawah semakin beresiko dan investasi pada layer teratas semakin aman. Untuk menyeimbangkan resiko yang tinggi, Investmen banker mengenakan bunga tinggi bagi investasi di layer terbawah, dan semakin rendah pada layer teratas. Untuk mebuat layer teratas semakin aman, investmen banker mengasuransikannya dengan asuransi yang disebut  Credit Default Swap. Sekarang layer teratas mempunyai bunga pengembalian investasi (returnal investment) sebesar 3%.

Lalu investmen banker menjual surat-surat hutang ini secara terpisah. Layer teratas ia jual pada para investor yang hanya menginginkan investasi sangat aman terhadap uangnya. Layer tengah ia jual kepada bank-bank lain yang akan melakukan praktek serupa. Dan layer terbawah ia jual kepada kepala-kepala perusahaan penyedia dana yang biasanya berani mengambil resiko.

Para investor yang menemukan investasi cara baru menjadi sangat puas, karena bunga pengembalian investasi 3% sangat memuaskan jika dibandingkan 1% yang akan didapat jika mereka menginvestasikan uang di US Federal Reserve. Mereka menghubungi investmen banker untuk membeli lebih banyak surat-hutang-aman tadi. Begitu juga bank yang lain dan kepala perusahaan penyedia dana.

Namun karena semua keluarga yang qualified untuk mendapatkan surat-hutang-rumah sudah habis. Maka mortgages lender (para pemunjam uang) mulai mengambil resiko lebih. Mereka mulai memberi surat-hutang-rumah (meminjamkan uang) dan menjual rumah pada keluarga-keluarga tanpa mensyaratkan down payment, tanda bukti pendapatan tahunan (proof of income), bahkan tanpa dokumen sama sekali. Praktek ini disebut Sub-Prime Mortgages. Inilah yang kemudian menjadi sumber masalah.

Mekanisme perputaran jual-beli kredit dalam pasar berjalan mulus. Jika ada keluarga yang kreditnya macet, karena pada dasarnya keluarga-keluarga Sub-Prime Mortgages tidak mampu meminjam uang sebanyak itu maupun membeli rumah sebesar itu, surat-hutang-rumah berubah menjadi rumah. Tidak masalah, pikir investment banker, karena rumah tersebut tinggal dijual kembali ke keluarga lain. Dan juga karena nilai rumah selalu naik maka kerugian karena kredit macet tersebut akan tertutup dengan sendirinya.

Namun lama-kelamaan semakin banyak surat-hutang-rumah yang berubah menjadi rumah. Rumah yang di jual di pasaran menjadi sangat banyak, dan tak ada yang mau membeli. Ini menyebabkan lebih banyak supply dari pada demand. Ketidakseimbangan ini mengakibatkan nilai (harga) rumah turun.

Harga rumah yang terus turun bukan hanya menjadi masalah bagi investment banker, tapi juga bagi keluarga yang masih terus membayar cicilan hutang. Tidak masuk akal bagi mereka untuk terus membayar cicilan 1,5 Milyar padahal nilai rumah mereka sekarang hanya 400 juta. Jadi mereka menelantarkan rumah mereka dan pergi.

Sekarang semua surat-hutang telah berubah menjadi rumah. Kredit macet bukan hanya sekedar resiko, melainkan telah menjadi fakta. Bank-bank pemberi pinjaman mencoba menawarkan surat-hutang yang ada pada mereka, namun investment banker menolak. Para investment banker mencoba menjual surat-surat hutang dalam CDO mereka, namun tak seorang investor pun mau membeli. Para investor mencoba menukar kembali investasi mereka pada surat hutang menjadi uang kembali, namun tak bisa. Semua perusahaan dan bank-bank tersebut akhirnya bangkrut. Investor-Investor menghubungi keluarga-keluarga dan menyatakan bahwa investasi mereka tidak bernilai lagi. Disinilah krisis bergerak melingkar menjadi siklus tanpa akhir. Seluruh sistem finansial lumpuh.

Hal ini terjadi dalam skala besar, dan meliputi hampir seluruh perusahaan-perusahaan, institusi-institusi, bank-bank besar di Amerika.


Efficient Market Hypothesis, Double Movement dan The Dodd-Frank Bill

Amerika merupakan negara penganut Efficiency market Hypothesis dalam bidang ekonominya. Regulasi negara sangat longgar dalam bidang ekonomi, bahkan hampir tidak ada regulasi apapun. Pasar di Amerika, termasuk pasar finansial dan pasar kredit, dibiarkan sebebas mungkin. Asumsinya adalah bahwa dengan begitu harga akan menemukan titik keseimbangan dengan sendirinya dan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan berjalan seefisien mungkin.

George Cooper dalam The Origin of Financial Crisis mengatakan, “The key message of The Efficient Market Hypothesis is that asset price are always and everywhere at the correct price “. Maksudnya, harga suatu barang dalam pasar selalu menunjukkan nilai sebenarnya dari barang tersebut.

The Efficient Market Hypothesis atau laissez-faire economic theory menubuh dalam bentuk pasar bebas. Mengapa? Karena pasar bebas memungkinkan alokasi sumber daya yang paling produktif, keseimbagan harga (Price Equilibrium), dan output yang optimal. Oleh karena itu dinilai paling efisien.

Pasar bebas harus dibiarkan apa adanya karena pada dasarnya pasar bebas memang sudah berjalan seefisien mungkin. Karena itu intervensi apapun dari pemerintah akan merusak keseimbangan dan efisiensi pasar.

Adam Smith dalam The Wealth of Nation, menyatakan bahwa kesejahteraan manusia hanya bisa tercapai dengan pasar bebas. Karena nature manusia adalah makhluk rasional yang mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, hanya pasar bebaslah yang memungkinkan pencapaian keuntungan maksimal bagi setiap orang. Usaha setiap manusia untuk memaksimalkan keuntungan tadi menciptakan suatu mekanisme pasar yang self-regulating. Self-regulating system dari pasar bebas ini disebut oleh Adam Smith sebagai The Invisible Hand.

Namun dengan adanya krisis finansial Amerika 2008, tepatnya dalam pasar kredit Amerika, Efficiency Market Hypothesis terbukti salah.

Kesalahan pertama adalah bahwa mekanisme keseimbangan harga tidak terjadi. mekanisme keseimbangan harga seharusnya terjaga dengan fluktuasi supply dan demand. Namun pada pasar kredit, pada suatu titik terbukti bahwa banyaknya penawaran rumah, dengan kata lain kuantitas rumah yang semakin banyak dan harga yang semakin murah tidak memotivasi permintaan akan rumah.

Kesalahan kedua adalah Efficiency Market Hypothesis tidak memperhitungkan faktor pengganggu lain seperti ketamakan yang berlebihan. Bahwa ada manusia yang mengumpulkan uang dan keuntungan bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan, melainkan hanya karena mereka ingin lebih. Ketamakan inilah yang menyebabkan munculnya praktik-praktik yang mengakibatkan runtuhnya seluruh sistem finansial.

Kesalahan-kesalahan tadi membuktikan bahwa pasar bebas tidak mampu mengatur dirinya sendiri. Self-regulating system dari pasar bebas  sebenarnya bukanlah fakta, ia hanya kebetulan yang (relatif) sering.  Ketidakmampuan pasar bebas untuk mengatur dirinya sendiri sebenarnya telah lama dikemukakan sejak 1944 oleh Karl Polanyi dalam The Great Transformation.

Karl Polanyi berpendapat bahwa pasar (bebas) bukanlah nature dari manusia. Ia adalah sesuatu yang ditemukan oleh manusia dan dibentuk dalam sejarah. Karena itu, peran manusia (atau pemerintah jika dalam konteks negara modern) sangat penting. Inilah tesis Polanyi yang disebut sebagai Double Movement. Menurutnya, perkembangan pasar harus berbanding lurus dengan ketatnya peran (regulasi) manusia (pemerintah).

Inilah mengapa krisis finansial Amerika 2008 terjadi. Surplus modal, yang berarti perkembangan pasar, yang juga mengakibatkan suku bunga (interest rate) turun menjadi 1%, tidak dibarengi dengan mengetatnya regulasi pemerintah. Tepat inilah yang ingin diperbaiki oleh Presiden Obama dengan kebijakannya yang disebut The Dodd-Frank Bill.

The Dodd-Frank Bill atau Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act adalah undang-undang yang diloloskan pemerintahan Barrack Obama pada tanggal 21 Juli 2010. Undang-undang tersebut pada dasarnya mengganti seluruh sistem regulasi finansial Amerika. Undang-undang ini menetapkan pengaruh pemerintah dalam semua institusi federal dalam bidang regulasi finansial. Efek dari kebijakan ini meluas meliputi hampir seluruh aspek industri finansial Amerika.

9.11.10

Post-Fondasionalisme dan Identitas Kewargaan


Bagaimana individu-individu yang mempunyai konsepsi berbeda tentang pandangan hidup (The Good) dapat bersosialisasi dengan damai dalam suatu masyarakat?  Bagaimana suatu negara dapat berjalan jika masing-masing individu mempunyai pandangannya sendiri tentang cara negara seharusnya dijalankan? Para pemikir klasik menjawab bahwa suatu masyarakat harus  menemukan suatu identitas bersama. Dengan begitu individu-individu terjalin dalam suatu common good yang menjadi ground atau fondasi dalam interaksi sosial-politik kewargaan.

John Rawls dalam The Theory of Justice menyandarkan fondasi tersebut pada rasionalitas. Ia membentuk 2 prinsip yaitu prinsip kesamaan dengan equality sebagai dasar dan prinsip perbedaan dengan dasar fredoom, yang menurutnya dapat diterima oleh semua manusia rasional.

Namun apakah identitas kewargaan semacam itu mungkin? Apakah suatu Common Good, suatu fondasi dimungkinkan dalam relasi sosial-politik masyarakat-tanpa-relasi sekarang ini?


IDENTITAS

Konsepsi tentang common identity didasarkan pada asumsi bahwa terdapat kesamaan dalam pluralitas. Terdapat singularitas karakter dalam entitas yang plural. Dengan kata lain ‘yang sama’ mendahului ‘yang beda’. Kesamaan selalu diutamakan daripada perbedaan. Kata ‘identitas’ sendiri berasal dari kata dasar ‘idem’ yang berarti ‘sama’. Dan karenanya, suatu masyarakat atau negara selalu mempunyai semacam identitas yang utuh, tetap, dan tunggal.

Tradisi ini telah dimulai sejak Aristoteles mengeluarkan 3 prinsip identitas, yaitu principium identitatis, principium contradictionis, dan principium tertium non dator. Pertama, identitas saya adalah atribut-atribut yang sama dengan saya dan dapat mewakili diri saya. Kedua, identitas saya adalah segala hal yang bukan saya, atau tidak bisa disamakan dengan saya. Ketiga adalah bahwa tidak ada kemungkinan ketiga.

Principium tertium non datur inilah yang dikritik pemikir-pemikir yang lebih kontemporer seperti Levinas, Lacan, Derrida dan Laclau.

Levinas dalam Totality and Infinity menyatakan bahwa The Other, ‘yang-bukan-saya’, adalah struktur eksterior identitas saya. Derrida dalam hal ini setuju dengan Levinas, dalam The Politics of Friendship, ia mengatakan bakwa ‘yang-lain’ merupakan ‘seberang luar yang konstitutif’ (constitutive outside) bagi identitas diri. Yang-lain adalah negativitas yang turut membentuk identitas saya. Identitas, baik saya maupun ‘yang-lain’, terus menerus menegasikan diri satu sama lain. Lacan dalam The Ethics of Psychoanalysis menjelaskan bahwa identitas merupakan aksi-aksi (actions) yang merupa dalam ketegangan antara needs dan desire.

Levinas, Derrida, dan Lacan menyarankan suatu cara baru dalam memandang identas. Identitas tak lagi dipandang sebagai suatu entitas tetap, tak berubah, utuh, penuh, serta tunggal. Melainkan suatu entitas tertium quid pro yang berada dalam infinitas. Identitas subjek selalu berada dalam ketegangan antara kemungkinan dan ketakmungkinan. Identitas hanyalah kondensasi dari subject position. Karenanya, setiap subjek adalah subjek yang diskursif, ia terus berubah. Subjek, dalam kerangka pandangan klasik, menjadi tidak dimungkinkan. Yang ada hanyalah subjektifikasi dan subjectifying.


IDENTITAS KEWARGAAN

Identitas kewargaan, dalam arti yang tunggal dan penuh, tidak ada. Dan Society berada dalam ketakmungkinan. Mengapa?

Pertama, jika identitas subjek selalu tertunda, diskursif dan terus berubah, maka relasi sosial juga selalu berada dalam ketergelinciran. Co-relation antar individu menjadi tidak dimungkinkan untuk ada, yang mungkin terjadi hanyalah co-existance. Maksudnya, relasi yang menghubungkan antara satu identitas dan identitas lainnya, untuk mengerti sepenuhnya orang lain tidak mungkin bisa terjadi. Yang ada hanyalah eksistensi saya dan eksistensi ‘yang-lain’ ada bersama-sama dan kadang di suatu waktu dan tempat tertentu bertemu. Maka society, yang terbentuk oleh relasi sosial-politik mejadi tidak mungikin, karena relasi resebut tidak pernah utuh padu.

Kedua, jika identitas subjek adalah kondensasi dari posisi subjek terhadap setiap moment tertentu (subject position) dalam hidupnya, maka perbedaan mengalami proliferasi. Dan jika negatifitas merupakan hal yang menbentuk identitas, maka perbedaan menjadi konstitutif. Perbedaan tidak bersifat ontologis, yang karena itu dapat dijembatani. Melainkan bersifat topologis. A dan B menjadi berbeda bukan karena nature mereka berbeda, melainkan karena jarak spasial temporal yang membentuk keduanya dan tak bisa dijembatani. Karena perbedaan mengalami proliferasi dan kontitutifikasi bagi identitas (dan koeksistensi sosial-politik), maka usaha apapun untuk membentuk identitas kewargaan yang utuh, penuh, serta menyatukan anggota-anggotanya tidak pernah bisa hadir.

Segala macam bentuk identitas kewargaan yang terbentuk adalah subjektifikasi sosial. Ia terus berubah dan infinit. Ia adalah ketegangan antara plural dan kolektif identifikasi. Namun jika semua orang bebas melakukan subjektifikasi sosial, bukan berarti memberi legitimasi pada ke-tak-terarahan, karena ia mempunyai limit. Limitnya adalah dimensi politikal dari subjektifikasi sosial tersebut. Masing masing identifikasi harus dapat dikontestasikan secara politis. Afirmasi masyarakat sangat berperan di sini. Karena hegemoni, sebagai konvergensi antara objektifikasi sosial dan relasi power, menjadi penting.

Terakhir, Fondasi yang diklaim John Rawls dalam The Theory of Justice sebagai rasionalitas dengan 2 prinsipnya (equality dan freedom), sebenarnya adalah juga subjektifikasi sosial yang bersifat singular. Ia tidak akan mungkin menjadi fondasi sosial-politik yang tunggal, utuh dan universal. Rasionalitas harus kita baca sebagai usaha politis Rawls untuk menjadikan demokrasi liberal sebagai identitas kewargaan.